Perspektif

Pemilu dan Isu Lingkungan: Masih Sebatas Retorika, Jauh Panggang dari Api

ASPIRASIBABEL.com | Perspektif -Pada tanggal 14 Februari 2024, Indonesia akan menyelenggarakan pesta demokrasi lima tahunan untuk memilih wakil rakyat di lembaga legislatif serta menentukan Presiden dan Wakil Presiden untuk periode 2024-2029. Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2023 untuk mengatur kampanye dalam Pemilu 2024 pun sudah dikeluarkan.

Sesuai dengan ketentuan peraturan tersebut, periode kampanye untuk calon presiden dan calon legislatif dimulai pada tanggal 28 November 2023 dan berakhir pada tanggal 10 Februari 2024. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menetapkan Daftar Pemilih Tetap (DPT) dengan jumlah mencapai 204.807.222 pemilih.

Berdasarkan rekapitulasi DPT, mayoritas pemilih Pemilu 2024 adalah generasi Z dan milenial. Generasi Z, yang lahir antara tahun 1995-2010, memiliki 46.800.161 pemilih atau 22,85% dari total DPT. Sementara itu, generasi Y atau milenial, yang lahir antara tahun 1980-1995, mencapai 66.822.389 atau 33,60% dari total DPT Pemilu 2024.

Jumlah pemilih dari kedua kelompok ini, yaitu generasi milenial dan generasi Z, mencapai lebih dari 113 juta atau 56,45% dari total pemilih. Dengan dominasinya dua generasi ini dalam Pemilu 2024, pemahaman terhadap latar belakang dan aspirasi mereka menjadi kunci untuk meraih kemenangan. Berdasarkan survei dan riset dari berbagai sumber, ditemukan bahwa pemilih muda ini umumnya memiliki kepedulian terhadap isu-isu global seperti pembangunan berkelanjutan dan lingkungan hidup.
Lantas, apakah partai politik atau para politisi sudah memiliki visi dan misi yang selaras dengan harapan anak muda ini?

Pertama-tama, mari kita membahas visi misi caleg terkait isu lingkungan. Di atas kertas, banyak dari mereka mengakui pentingnya melindungi lingkungan dan berkomitmen untuk memastikan keberlanjutan. Namun, sejauh mana komitmen ini diwujudkan di lapangan masih jauh dari gambaran idilis.

Banyak dari para caleg terlihat terjebak dalam praktik "greenwashing," di mana klaim lingkungan dilontarkan tanpa dasar nyata. Misalnya, ada caleg yang menyatakan dirinya sebagai pejuang lingkungan, tetapi masih memakai plastik sekali pakai dalam setiap kampanyenya. Mungkin saatnya bagi mereka untuk memahami bahwa mengganti kantong plastik dengan slogan kosong tidak cukup untuk menyelamatkan bumi.

Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah alat peraga kampanye yang digunakan oleh caleg mendukung visi misi berkelanjutan mereka? Sebagai contoh, poster raksasa dan spanduk plastik yang menciptakan pemandangan sampah visual di sepanjang jalan-jalan kota.

Jika benar-benar peduli pada lingkungan, mungkin lebih baik jika caleg mengevaluasi alat peraga kampanye mereka. Apakah perlu menggunakan material ramah lingkungan? Ataukah hanya karena ukuran dan ketahanan yang menjadi alasan utama, tanpa memikirkan dampaknya pada lingkungan?
Meskipun memasang baliho, spanduk, umbul-umbul, bendera partai, atau elemen kampanye lainnya di jalan-jalan dan tempat umum dianggap sebagai metode yang sah dalam Pemilu, pendekatan ini tampaknya telah menjadi usang dan kurang menarik bagi kelompok milenial. Sebaliknya, metode ini tidak hanya gagal mendapatkan simpati dari pemilih, tetapi juga dapat menyebabkan reaksi negatif hingga membuat mereka menghindari partai atau kandidat yang terlibat.

Terutama bagi pemilih muda yang lebih terhubung dengan dunia maya, mereka cenderung mencari informasi mengenai calon legislatif atau calon presiden melalui media sosial. Kampanye melalui konten digital tidak hanya lebih menarik, tetapi juga memberikan kesempatan kepada calon untuk menguraikan visi, misi, dan gagasannya secara lebih detail.
Dalam konteks kampanye, teori keterbukaan dan transparansi sangat relevan. Jika caleg benar-benar serius tentang isu lingkungan, mengapa tidak membuka diri terkait sumber daya kampanye dan dampak lingkungan dari kegiatan mereka?

Menjembatani kesenjangan antara retorika dan realitas memerlukan keterbukaan total. Para caleg bisa memulai dengan memberikan informasi terinci tentang asal-usul dana kampanye mereka, dan bagaimana dana tersebut digunakan untuk meminimalkan jejak lingkungan. Ini akan menjadi langkah awal yang luar biasa dalam membangun kepercayaan masyarakat.

Dalam menyusun visi misi dan menghadirkan kampanye, caleg perlu menyadari bahwa isu lingkungan dan keberlanjutan bukanlah sekadar hiasan. Ini adalah tanggung jawab nyata terhadap generasi mendatang. Jadi, jika ada satu hal yang ingin dicapai dalam Pemilu, bukan hanya kemenangan dalam kursi legislatif, tetapi kemenangan dalam melindungi bumi.

Kini saatnya bagi para caleg untuk memastikan bahwa kampanye mereka lebih dari sekadar pidato kosong—tetapi menjadi gerakan nyata menuju pemilihan yang hijau dan berkelanjutan.

Sebagai pemilih dan pemilik suara, generasi muda khususnya para pemilih muda patut bertanya pada diri sendiri, apakah sebagai pemilih harus puas dengan visi misi calon legislatif yang hanya sebatas slogan-slogan hijau? Bukankah saatnya kita sebagai generasi muda menuntut bukti nyata dari komitmen mereka terhadap lingkungan? Sudah saatnya kita semua menjadi pemilih cerdas, bersikap lebih kritis dan selektif dalam menilai para calon.

Meskipun kita terkadang dikecewakan oleh realitas politik, kita tidak boleh kehilangan harapan. Isu lingkungan dan keberlanjutan memang sering terabaikan, tetapi ini adalah panggilan untuk kita semua agar lebih aktif dalam memastikan para pemimpin kita benar-benar memiliki visi dan tindakan yang sejalan.

Mari kita pilih calon yang tidak hanya mahir dalam berbicara, tetapi juga memiliki rekam jejak nyata dalam mendukung keberlanjutan. Pilihlah pemimpin yang melibatkan masyarakat dalam pembuatan kebijakan lingkungan, bukan hanya berkomitmen saat kampanye.

Dengan cara ini, kita dapat mengubah politik hijau yang berbunga-bunga menjadi gerakan politik yang sungguh-sungguh mendorong perubahan positif. Kita berhak mendapatkan pemimpin yang tidak hanya memberikan janji, tetapi juga bertindak nyata untuk keberlanjutan bumi ini. Mari bersama-sama memilih pemimpin yang benar-benar mengutamakan lingkungan untuk masa depan yang lebih baik. (**).

Oleh : Denni Candra
Penulis dan Mahasiswa Magister Komunikasi Univ. Paramadina

Penulis:

Baca Juga