Perspektif

Bahasa Simbol dan Jargon Politik sebagai Alat Manipulasi Opini

ASPIRASIBABEL.com | Opini -Pemilihan Umum 2024 semakin mendekat, dan kita semua tahu bahwa dalam dunia politik, komunikasi menjadi senjata utama. Namun, apa yang terjadi ketika para politisi menggunakan simbol dan jargon yang terdengar begitu pintar, namun sebenarnya menyisakan tanda tanya besar di benak pemilih?

Menurut sebuah teori yaitu Symbolic Interactionism Theory, yang dikembangkan oleh George Herbert Mead pada awal abad ke-20, mengajarkan kita untuk melihat interaksi sosial melalui lensa simbol dan makna yang melekat padanya. Dalam konteks politik, simbol dan jargon dapat menjadi senjata ampuh untuk menciptakan citra yang diinginkan, meskipun seringkali tanpa makna yang jelas.

Para politisi seringkali terlibat dalam permainan kata-kata yang rumit, memasukkan simbol dan jargon ke dalam pidato mereka dengan harapan menciptakan kesan intelektual yang mendalam. Namun, apakah itu benar-benar mencerminkan substansi dan pemahaman mendalam tentang isu-isu yang dihadapi masyarakat?

Salah satu contoh paling jelas adalah penggunaan frasa "transformasi struktural" yang begitu populer. Seolah-olah itu adalah mantra ajaib yang akan mengubah segalanya menjadi lebih baik. Namun, apa yang sebenarnya dimaksud dengan transformasi struktural? Apakah ini hanya sebuah istilah kosong yang dirancang untuk memikat tanpa memberikan jawaban konkret?

Dalam dunia politik yang penuh dengan istilah seperti "paradigma baru," "revolusi digital," atau bahkan "kolaborasi inklusif," seringkali sulit bagi pemilih untuk memahami substansi di balik kata-kata tersebut.

Symbolic Interactionism Theory mengajarkan kita bahwa simbol hanya memiliki makna sejauh para pemangku kepentingan sepakat untuk memberikannya. Oleh karena itu, para politisi dapat dengan mudah mengelabui pemilih dengan menciptakan simbol dan jargon yang terkesan mendalam tanpa perlu memberikan kejelasan nyata.

Selain itu, banyak politisi menggunakan istilah-istilah ekonomi yang kompleks tanpa memberikan penjelasan yang memadai. Misalnya, "indeks kesejahteraan ekonomi" atau "diversifikasi portofolio investasi." Semua terdengar begitu canggih, namun seberapa banyak pemilih yang benar-benar memahami implikasi dan dampaknya?

Symbolic Interactionism Theory juga menyoroti bagaimana simbol dapat menciptakan realitas sosial. Dalam konteks pemilihan umum, para politisi mencoba menciptakan gambaran positif tentang diri mereka sendiri melalui simbol-simbol seperti foto-foto mereka yang sering kali diambil di tengah-tengah masyarakat, berjabat tangan dengan warga, atau bahkan berbicara di depan latar belakang yang mengesankan. Namun, apakah itu benar-benar mencerminkan keterlibatan dan pemahaman mendalam tentang kebutuhan masyarakat?

Penggunaan jargon dan simbol juga dapat menciptakan kesenjangan antara politisi dan pemilih. Pemilihan kata yang rumit dan penggunaan istilah teknis cenderung menjauhkan masyarakat dari proses politik. Alih-alih merasa terlibat, pemilih mungkin merasa terpinggirkan dan tidak mampu memahami isu-isu yang seharusnya memengaruhi kehidupan mereka sehari-hari.

Sebagai contoh, kita sering mendengar politisi berbicara tentang "keberlanjutan" dan "inovasi berbasis masyarakat." Tapi seberapa banyak pemilih yang benar-benar tahu apa yang dimaksud dengan keberlanjutan dalam konteks politik? Apakah inovasi berbasis masyarakat hanya frase kosong yang sebenarnya tidak membawa perubahan konkret?
Dalam konteks Symbolic Interactionism Theory, ini dapat diartikan sebagai upaya untuk memanipulasi persepsi pemilih melalui simbolisme politik yang dirancang untuk menciptakan kesan pemahaman tanpa memberikan substansi yang konkret. Mereka menciptakan simbol-simbol dan jargon-jargon politik yang tidak memiliki makna nyata, tetapi terdengar pintar dan canggih di permukaan.

Dalam menghadapi kompleksitas pemilu dan isu-isu yang semakin rumit, penting bagi para politisi untuk berkomunikasi dengan jelas dan transparan. Menggunakan Symbolic Interactionism Theory sebagai panduan, kita dapat menilai apakah simbol dan jargon yang digunakan benar-benar menciptakan pemahaman yang lebih baik tentang isu-isu tersebut atau justru hanya menjadi alat retorika kosong.

Penting untuk diingat bahwa Symbolic Interactionism Theory menekankan pentingnya komunikasi yang jelas dan pemahaman bersama antara individu dalam interaksi sosial. Dalam konteks pemilihan umum, hal ini berarti bahwa politisi seharusnya berusaha untuk berkomunikasi dengan pemilih secara transparan dan jujur, tanpa menyembunyikan diri di balik lapisan jargon yang tidak bermakna.

Jika mereka ingin benar-benar meraih dukungan pemilih, mereka perlu melibatkan pemilih dengan bahasa yang mudah dipahami dan menjelaskan secara konkret rencana dan visi mereka untuk masa depan. Simbolisme politik yang seharusnya mencerminkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang dipegang oleh politisi tersebut, bukan hanya sekadar pencitraan tanpa substansi.

Masyarakat perlu meminta klarifikasi dan penjelasan lebih lanjut ketika dihadapkan pada istilah-istilah yang rumit. Politisi, sementara berusaha menciptakan citra yang positif, juga perlu menyadari bahwa penggunaan simbol dan jargon yang terlalu rumit dapat merugikan hubungan antara mereka dan pemilih.

Pada akhirnya, transparansi dan kejelasan adalah kunci untuk membangun hubungan yang kuat antara politisi dan pemilih. Masyarakat tidak perlu terkesima oleh kata-kata pintar yang sebenarnya tidak memberikan pemahaman yang lebih baik tentang isu-isu penting. Sebagai pemilih cerdas, mari kita tuntut kejelasan dan substansi dari para politisi, karena hanya dengan pemahaman yang baik kita dapat membuat keputusan yang cerdas untuk masa depan negara ini. (**).

Oleh : Denni Candra
Penulis dan Mahasiswa Magister Komunikasi Universitas Paramadina

Penulis:

Baca Juga